Karya:
Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Kenapa Novel lawas ini dibahas dalam resensi novel blog ini. Ada beberapa alasan; pertama, buya adalah legenda, baik dalam masalah kesusasteraan Indonesia, maupun keagamaan serta cara bersikap dalam mempertahankan prinsip menentang perbedaan dari penguasa. Kedua, novel ini memiliki daya magis kata-kata yang menghanyutkan.
Buku ini menceritakan kisah cinta antara Hayati dan Zainuddin. Sebuah cerita cinta tak kesampaian. Bukan karena tidak saling mencintai melainkan masalah klasik bahwa salah satu pihak (Zainuddin) dianggap tidak memiliki kepantasan oleh keluarga sang perempuan untuk mendampinginya. Zainuddin tak peduli hingga diusir dari kampung. Dia tetap mencintainya dari jauh. Bertahan dengan surat-surat cintanya yang meratap. Cinta Zainuddin yang tak pernah bimbang bertemu dengan desakan dari pelbagai pihak untuk menghancurkan cinta Hayati. Tidak hanya dari keluarga tapi juga dari sahabatnya sendiri. Akibatnya pertahanan Hayati “patah” jua. Ia akhirnya menikah dengan kakak sahabatnya Khadijah.
Kejadian itu membuat Zainuddin hancur hatinya, membuatnya sakit parah. Sahabatnya kemudian menasehatinya untuk merantau melupakan cintanya ke pulau jawa. Tapi cinta sejatinya tidak pernah pudar. Tapi ia berupaya merubah hidupnya menjadi penulis novel, roman percintaan. Dikarenakan hatinya pernah disakiti, kata-katanya begitu merasuk, mendalam dan kena di hati para pembaca. Kerja barunya itu akhirnya menemukan tempat, ia segera menjadi penulis kenamaan. Di rantau ia dipuja-puji. Ia kemudian menjadi penulis yang ditunggu novelnya.
Dalam novel ini buya menampilkan jalan cerita roman yang sesungguhnya sangat umum ketika itu, yaitu “kasih tak sampai”. Namun yang luar biasa adalah cara buya menuturkan cerita ini, hingga tanpa kita sadari airmata menitik sudah. Novel ini dianggap salah satu masterpiece Buya selain “di bawah lindungan ka’bah”.
Bagi para pencinta novel saya tentu sarankan membaca novel ini….