Judul : The Mystery of 2012, Prediksi, Ramalan, dan Kemungkinan
Penulis : Gregg Braden, dkk
Penerbit : Ufuk Press Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2009
Tebal : xi+579 halaman
Peresensi : Matroni el-Moezany*
21 Desember 2012, masih menjadi hari yang penuh tanda tanya misteri dan bahkan telah menjadi misteri dunia.
Menurut ramalan, tanggal yang tepat jatuh pada hari Jum’at itu merupakan akhir dari peradaban di dunia ini alias “Hari Kiamat”. Dalam kitab suci Al-Qur’an dan beberapa sumber, hari kiamat akan jatuh pada hari Jum’at, seperti yang diramalkan oleh beberapa nara sumber, termasuk kalender bangsa maya yang selama ini diyakini sebagai kalender paling akurat di bumi.
Dalam kebudayaan suku bangsa Maya yang sangat maju, juga terdapat catatan serupa. Berdasarkan kalender suku Maya, terhitung sejak 1992 hingga 2012, bumi kita akan memasuki suatu masa “Siklus Besar” yang terjadi setiap 5200 tahun sekali yang merupakan masa penutup dari fase terakhir, yang juga disebut “Masa Perubahan Bumi”. Dalam kebudayaan suku Maya itu juga telah diramalkan bahwa pada tahun 2012 medan magnet bumi juga akan mengalami perubahan.
Sementara India Daily pada tanggal 1 Maret 2005 melaporkan, bahwa ada sejumlah ilmuwan geofisika dan astronomi dari perusahaan Hyderabad telah meramalkan bahwa pada tahun 2012 akan terjadi perputaran terbalik pada kutub bumi maupun kutub matahari. Perputaran terbalik kutub bumi artinya kutub utara dan kutub selatan akan bertukar posisi. Selama dalam proses ini di bumi akan terjadi suatu fenomena dimana dalam kurun waktu tersebut akan sama sekali tidak ada daya tarik menarik medan magnet.
Kiamat merupakan akhir dari kehidupan duniawi dan tidak akan ada lagi kehidupan di Bumi ini. Berbagai isu kiamat telah banyak kita dengar selama ini. Dan mungkin anda juga. Akan tetapi, semuanya tidak benar. Seperti halnya isu kiamat 080808 tahun lalu. Akan tetapi, akankah Isu Kiamat Tahun 2012 ini akan terjadi?
Apa jadinya jika bumi berpindah kutub dari kutub utara ke selatan, dan kutub selatan ke utara? Tentu saja matahari yang awalnya muncul dari timur akan muncul dari barat pada saat itu. Ramalan ini memiliki keterkaitan dengan berita yang muncul dan ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an yang menerangkan bahwa “Pada hari kiamat, matahari akan terbit dari arah barat dan terbenam dari arah timur”. Walaupun beberapa sumber diatas tidak menerangkan bahwa matahari akan terbit dari arah barat, tetapi tentu saja kita dapat menyimpulkannya jika bumi berpindah kutub, tentu saja arah muncul matahari akan berubah.
Kalender bangsa Maya (Mesir Kuno) dengan detil mengungkapkan jika tahun 2012 merupakan akhir sekaligus awal zaman baru. Bagaikan kelahiran seorang anak manusia, maka kelahiran zaman baru ini akan dipenuhi dengan darah. Suku Maya merupakan salah satu suku kuno di dunia ini yang dikenal sebagai suku yang sangat detil memperhatikan dan menghitung bintang-bintang dan benda langit lainnya.
Kitab kuno dari Cina-I Ching, juga menyatakan akan terjadi bencana besar di tahun 2012. Beberapa ativitas modern juga terkait dengan tahun 2012, yakni dateline modernisasi besar-besaran Pentagon paska ditubruk rudal dalam peristiwa 11 September 2001, batas akhir pelaksanaan Codex Alimentarius yang berupaya mengurangi populasi manusia di bumi dengan rekayasa genetika dan makanan transgenik, dan sebagainya.
Tokoh spiritual Yahudi dunia bernama Titzchak Qadduri mengatakan menurut perhitungannya, sebuah komet atau asteroid raksasa tengah meluncur di alam semesta dan mengarah serta akan menumbuk menuju daratan Amerika. Apakah hal ini membuktikan bahwa tahun 2012 memang benar-benar kiamat? Hanya Dia yang tahu dan kita sebagai manusia biasa hanya bisa berserah kepadaNYA.
Akan tetapi, semua prediksi-prediksi atau ramalan itu sebenarnya tidak bisa dipercaya secara pasti. Karena kesimpangsiuran berita tentang hari kiamat ini. Jika melihat ramalan dan fakta di atas, mungkin kita akan percaya bahwa kiamat 2012 akan terjadi.
Akan tetapi kita lebih mempercayai bahwa yang terjadi di tahun 2012 adalah hanya badai matahari, bukan kiamat seperti berita di kompas. Karena, prediksi ini adalah hasil dari pemantauan pusat pemantau cuaca antariksa di beberapa negara sejak tahun 1960-an dan di Indonesia oleh Lapan sejak tahun 1975.
Kita tentu berharap bahwa kemunculan ramalan kiamat 2012 tidak hanya membuat kita semakin terpesona pada pencapaian pengetahuan Maya Kuno ataupun astronomi modern. Namun, kita juga bisa menjadi semakin bijaksana dalam menjalani hidup di tengah peradaban dunia yang semakin shok. Ramalan-ramalan itu adalah pemantik kesadaran untuk mengingatkan kita akan adanya “Kebenaran Utama” yang berada di balik sistem pengetahuan manusia yang pada dasarnya memang terbatas.
Semua orang membicarakan 2012 dan buku ini adalah yang paling rinci dan komprehensif menjawabnya. Para penulis buku ini berusaha menyatukan berbagai pendekatan dalam mengungkapkan misteri 2012, dan mereka berhasil meyakinkan kita tentang apa yang sebenarnya akan terjadi nanti sehingga kita akan menemukan suatu kesimpulan besar yang mengejutkan pada tahun 2012. Tahun 2012 sangat mungkin menjadi pintu gerbang menuju dunia yang berbeda.
Apakah kita ragu, percaya, atau sekedar penasaran dengan 2012. Buku The Mystery Of 2012 menawarkan kita untuk saling bertanya dan bereksplorasi sesuatu yang menggoda pikiran dan pemahanan dari berbagai kemungkinan pertanda besar yang sedang mendekat dalam sejarah manusia.
*Peresensi adalah pengelola pustaka Kutub Yogyakarta.
Selengkapnya...
Thursday, January 14, 2010
The Mystery of 2012, Prediksi, Ramalan, dan Kemungkinan
Islamic Finance; Keuangan Islam Dalam Perkonomian Global
Judul buku : Islamic Finance; Keuangan Islam Dalam Perkonomian Global.
Penulis : Ibrahim Warde.
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Cetakan : 1, 2009.
Tebal : xv+536 Halaman.
Peresensi : Hasan F.
Bank Islam muncul perdana di bumi, bertepatan dengan permulaan peristiwa Aggiornamento (proses modernisasi) doktrin Islam dalam aspek perbankan yang terjadi sekitar tahun 1970-an.
Ketika itu bank-bank Islam adalah bank-bank komersial yang telah beroperasi dengan dasar bebas bunga.
Banyak institusi Keuangan Islam sekarang telah beroperasi dilebih dari tujuh puluh Negara belahan dunia. Aset bank-bank tersebut banyak mengalami lonjakan nilai lebih dari 40 kali lipat sejak tahun 1982, dengan capaian rata-rata melebihi $200 Milyar. Pada tahun 1996 dan 1997 mengalami peningkatan kembali pertumbuhan pertahun masing-masing mencapai nilai 24% dan 26%.
Keunggulan tata kelola keuangan ala Islam, menjadi sebuah cermin atau perameter keberhasilan menjalankan sirkulasi uang secara tepat dengan hasil saling menguntuangkan (mutualisme). Keuangan Islam (Islamic finance) merupakan institusi yang tujuan dan aktivitasnya berlandaskan pada ajaran-ajaran al Quran.
Secara definitif, Islamic finance lebih terinci ketimbang definisi yang menyebutkan Keuangan Islam sama dengan perbankan bebas bunga secara komperhensif. Bedasarkan pertimbangan untuk mengadakan transaksi tanpa menggunakan bunga bank, meskipun demikian Islamic finance lebih bedasarkan pada prinsip-prinsip perekonomian Islam seperti menghindari sistem riba (sistem bunga meningkat terus menerus secara tidak wajar) dan gharar (spikulasi, risiko, ketidakpastian).
Secara umum terapat dua kutub besar aspek Islamic finance yang harus diletakkan secara renggang. Pertama adalah filsafat pembagian risiko. Artinya, adanya suku bunga yang telah ditentukan disatu pihak (lender) dan risiko yang harus ditanggung pihak lain (borrower) yang mengimplikasikan unsur ekspliotasi, ketidak produktifan sosial, bahkan ekonomi yang tidak berguna (faild economy). Oleh sebab itu, para Kreditur dicapai untuk mampu berbagi resiko dengan debitur, yang model pembiayaannya adalah profit and los sharing.
Kedua, mem-blow up perkembangan ekonomi dan sosial melalui praktik dan zakat. Sekarang kebanyakan institusi keuangan besar mempunyai dewan pengawas syariah (DPS) mereka adalah pakar hukum dan Keuangan Islam yang mempunyai apabilitas mementukan instrument-instrumen baru yang dapat diterima atau ditolak, serta mengaudit aktivitas-aktifitas perbankan berfondasi prinsip-prinsip Islam. Jelasnya perbedaan signifikan antara Keuangan Islam dan Keuangan Konvensional adalah keuntungan yang lebih maksimal (profit-maximization) dengan panduan norma norma agama.
Perkembangan akurat saat ini, bank-bank di dunia terarah pada makin terintegrasinya keuangan Islam kedalam ekonomi global. Sebagai bukti, indeks pasar Islam Dow Jones (Dow Joines Islamic market indeks) telah merekam 600 perusahan yang produk-produk dan pelayanan-pelayanannya sejalan mengikuti norma-norma Hukum Islam. Institusi-institusi asing tidak sedikit yang telah mendirikan cabang perbankan Islam. Banyak bank konvensional di benua Amerika dan Eropa yang menawarkan “produk-produk Islam” yang ditujukan bagi kalngan non Muslim.
Setelah berjalan dengan penuh kemantapan, sistem Keuangan Islam mengalami modernisasi melalui dua hal. Pertama, terjadi pada saat tumbuhnya kepercayaan diri Islam di tengah melajunya keyakinan pada tatanan ekonomi internasional baru (new international economic order) yang lebih condong kepada kawasan Selatan daripada Utara. Tatanan ekonomi baru ini rata-rata didominasi oleh Negara Arab penghasil minyak dengan tambahan Mesir dan Pakistan.
Sejak priode itu, dunia keuangan mengalami transformasi yang bombastis. Banyak visi-visi perbangkan pada era 70-an tidak relevan diterapkan lagi. Aggiornamento baru dikarakterisasikan dengan multi-polaritas dunia Islam yang meningkat. Seperti Malaysia yang memainkan peran kunci terjadinya transformasi yang luas di dalam keuangan Internsional (international finance) yang didorong oleh perubahan teknologi, inovasi, deregulasi, dan globalisasi.
Tiga bagian Buku karya Ibrahim Warde ini menyimpan tiga hal pokok penting yang menjelaskan background Islamic finance dan informasi mengenai Islam serta hubungan pengelolaan keuangan. Penulis memaparkan detil melalui napak tilas sejarah evolusi ekonomi dan Keuangan Islam, mekanisme-mekanisme yang dapat menyatukan homo islamicus dan homo economicus serta mempertimbangkan perintah agama yang seiring langkah dengan tata pengelolaan keuangan. Salah satu basis tema yang dikuaknya adalah perbedaan antara interpretasi tradisionalisme dan legalisme dengan interpretasi yang lebih modern, adaptif, dan fokus pada spirit moral economi khas Islam.
Kedua, memperkenalkan dan mendeskripsikan keuangan di dunia Islam. Bagian ini lebih rinci melacak kelahiran dan evolusi Keuangan Islam modern serta menempatkannya ke dalam konteks politik dan ekonominya secara tepat. Di sisi lain, bahasan ini juga menjelaskan keberagaman industri dengan analisis cara-cara yang diimplementasikan berbagai negara yang berbeda-beda dalam memperkenalkan dan berkecimpung dengan keuangan Islam melalui pemberian tipologi atas prodak keuangan Islam.
Bagian terahir, lebih spesifik membahas isu-isu dan tantangan yang dihadapi Islam dari lima perspektif secara luas. Atara lain strategi dan kebudayaan (membedakan praktik Keuangan Islam dan Keuangan Konvensional), ekonomi dengan pasar modal Islam beserta implikasinya, isu-isu regulasi yang muncul secara domestik dan internasional, politik yang berhubungan dengan tuduhan keterkaitan institusi pada Keuangan Islam dengan Terorisme Islam, serta Agama yang menginterpretasikan keagamaan dalam perspektif historis dan komparatif.
Buku ini telah berusaha maksimal untuk memperkenalkan gambaran yang lebih komplit dari Keuangan Islam dengan menggambarkan secara jelas dari segala segi yang dimilikinya, menempatkannya dengan tepat dalam konteks ekonomi global dan mengeksplorasinya dari perspektif-perspektif empiris, komparatif, dan historis. Selain itu, juga mengidentifikasi moral, dan membahas isu-isu kultural serta Moral hazard Islam (pandangan bahwa jaminan justru membuat orang menjadi ceroboh).
* Pecinta Buku, Bergiat di rumah Al-Mukarromah Yogyakarta
Selengkapnya...
Nalar Politik NU dan Muhammadiyah; Over Crossing Jawa Sentris
Judul Buku : Nalar Politik NU dan Muhammadiyah; Over Crossing Jawa Sentris
Penulis : Dr. Suaidi Asyari, MA, Ph.D
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2009
Tebal : xxiv + 448 halaman
Peresensi : Fikrul Umam MS
NU, Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial-keagamaan (jamiyyah diniyyah-ijtimaiyyah) terbesar di negeri ini yang sebenarnya lebih fokus pada persoalan-persoalan kehidupan sosial-keagamaan para warganya.
Pada orde lama NU menjadi sebuah partai politik dan mewarnai kehidupan politik bangsa Indonesia , karena merasa kecewa oleh kelompok modernis yang mendominasi Masyumi. Pada Muktamar Situbondo NU kembali ke khittahnya menjadi organisasi sosial-keagamaan dan terjun langsung ke masalah-masalah ke-umat-an.
NU memiliki peran yang sangat vital dan penting dalam proses demokrasi di Indonesia, berbagai sikap, pandangan, dan kebijakan organisasi yang diambil oleh NU terbukti mampu mewarnai kehidupan politik mulai semenjak Orde Baru hingga saat ini. Pada tahun 1999 NU menjembatani berdirinya partai politik yang secara khusus menampung aspirasi politik warga NU, dan dengan difasilitasi dari PBNU dan dihadiri oleh KH. Muchit Muzadi, KH. Mustofa Bisri dan founding fathers KH. Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa.
Dengan lahirnya PKB, NU memberikan kelonggaran bagi warganya dan tidak memaksa warganya untuk memilih partai politik tertentu. PKB tidak lepas dari NU sehingga jumlah perolehan suara merupakan representasi dari jumlah pengikut NU yang tersebar di Indonesia. Ternyata loyalitas warga NU terhadap induk organisasinya tidak sama kuat dengan loyalitas yang diberikan kepada PKB, sehingga jutaan bahkan ribuan warga nahdliyin tidak cukup menyumbangkan suara yang signifikan bagi PKB.
Dinamika internal yang terjadi di NU sebagai organisasi sosial-keagamaan dalam kaitannya dengan PKB merupakan kajian khusus yang tersaji dalam buku ini, kenyataan bahwa NU yang di luar jawa memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan NU di Jawa. Baik terkait dengan loyalitas warga NU terhadap partai maupun pemilu legislatif dan pemilu presiden 2004 juga menjadi suatu hal yang menarik.
NU yang berdiri pada tahun 1926 mengklaim sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, dan lebih dari 40 juta muslim adalah pengikut NU. Akhir-akhir ini studi Islam semakin didominasi oleh dikotomi “radikal” versus “moderat, NU diletakkan sebagai organisasi moderat sebuah klaim yang membutuhkan eksaminasi ulang lebih jauh. NU memiliki peran yang penting dalam perpolitikan di Indonesia dan banyak disorot dari perspektif demokrasi dan civil sosiety.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani tahun 2002, sekitar 66% santri Indonesia adalah 18 % warga Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah, dan 48 % warga Indonesia adalah pengikut NU. Sehingga jelaslah bahwa kedua organisasi ini memainkan peran penting, baik dalam memobilisasi maupun dalam memediasi massa . Hubungan antara NU dan Muhammadiyah adalah modernis-puritanis dan muslim tradisionalis berdasarkan, pertama; keanggotaan kelompok. Kedua; cara kaum muslim melakukan ibadah. Mengenai hubungan Muhammadiyah dengan Islam modernis-puritanis ada tiga hal, yakni; anggota, pengikut dan jamaah.
Para pengikut NU dan Muhammadiyah berdasarkan dari ritual agamanya (ibadah) yang dijalankan sebagian besar para pengikut NU adalah kaum muslim yang banyak mempraktikan ritual ibadah model madzhab Safi’I (w. 204 H/ 820 M). sedangkan sebagian besar pengikut Muhammadiyah merupakan kaum muslim yang mempraktikkan ibadahnya yang serupa dengan madzhab Hanbali (w. 241 H/ 855 M). Menyambut pemilihan umum 1999, Amien Rais pemimpin umum Muhamnmadiyah (1995-2000) mendirikan PAN (Partai Amanat Nasional).
Sementara KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU (1984-1998) beserta kiai lainnya mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Meski platform PKB dan PAN menyatakan bahwa keduanya merupakan partai politik terbuka dan sekuler. Banyak pengamat politik yang berharap kedua partai menjadi penyambung lidah parlemen bagi aspirasi warga NU dan warga Muhammadiyah. Dengan demikian warga NU memilih PKB dan para pengikut Muhammadiyah akan memilih PAN.
Studi tentang NU dan Muhammadiyah dengan cara mengeksaminasi perannya dalam politik sosial-keagamaan Indonesia dengan melihat basis perkembangan awal mereka yang kuat, yaitu gagasan ijtihad (interpretasi yang bebas), penolakan madzhab versus ijma’ (konsensus), pengakuan terhadap madzhab. Secara teoritis NU penganjur ijma’ dan Muhammadiyah adalah penganjur ijtihad. Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912, adalah sebagai organisasi “Islam Puritan” yakni organisasi keagamaan yang perkembangannya berhubungan langsung dengan para pengikutnya dan sangat sesuai dengan karakteristik awal organisasi serta penyesuaian karakteristik dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia yang berlangsung lama.
Buku ini menyajikan fakta mengenai dinamika dan peran penting Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dalam kehidupan politik dan proses demokratisasi di Indonesia . Pasca runtuhnya rezim orde baru sebuah tema kajian tentang Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sering luput dari perhatian para ilmuan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Peresensi adalah Peneliti Sosial, Mantan Pemimpin Perusahaan LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selengkapnya...
Wednesday, January 13, 2010
KH Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Judul Buku : KH Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Penulis : Caswiyono Rusydie Cakrawangsa, Zainul Arifin, Fahsin M. Fa’al
Pengantar : Prof Dr KH Moh. Tholhah Hasan & HM. Fajrul Falakh SH MA MSc
Epilog : Idy Muzayyad MSi
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009 & II, Oktober 2009
Tebal : xxxvi + 290 Halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani Yahya*
Dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU lainnya, nama Moh. Tolchah Mansoer barangkali tidak terlalu populer di mata masyarakat umum. Memang, beliau pernah menjadi pimpinan puncak dalam organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun, faktanya tidak banyak literatur yang mendokumentasikan sepak terjang dalam kehidupannya. Ketidakhadirannya dalam berbagai literatur, bukan berarti sosok ini tidak memiliki arti penting dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, khususnya bagi organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama’. Orang NU yang tercatat sebagai doktor hukum Tata Negara pertama dari Universitas Gadjah Mada ini telah banyak menelorkan karya-karya penting yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam kajian dan pengembangan hukum ketatanegaraan di Indonesia.
Julukan sosok integratif (baca: ilmuwan sekaligus kiai) tampaknya sangat tepat untuk dilekatkan kepada Prof KH Tolchah Mansoer. Ia merupakan salah satu contoh “orang NU” yang “sukses”. KH Tolchah merupakan founding fathers terpenting dalam organisasi IPNU. Ia merupakan pelopor, pendiri, dan penggerak pada masa awal berdirinya. IPNU dicita-citakan olehnya menjadi wadah bagi pelajar umum dan pelajar pesantren. (hlm. 261). Selain ahli di bidang hukum tata negara, kealiman di bidang pengamalan ajaran Islam tidak dapat dipungkiri. Ia banyak menulis buku ketatanegaraan dan banyak menerjemahkan buku-buku agama dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Tolchah Mansoer merupakan figur menarik dan penting dalam sejarah NU, sejak muda hingga masa tuanya. Ia merupakan aset berharga yang telah berjasa banyak dalam peletakan dasar-dasar gerakan dan kaderisasi NU hingga pembaharuan pemikiran dan arah organisasi NU.
Ada beberapa hal yang mendasari untuk “mendokumentasikan” lika-liku perjalanan hidup seorang ulama’ sekaligus ilmuwan, Prof Dr KH Moh. Tolchah Mansoer SH. Dalam pengantarnya, redaksi LKiS mengurai beberapa alasan dalam penerbitan buku ini.
Pertama, perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, kegigihan, ketulusan, dan kerja keras setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi zaman sekarang.
Kedua, jika ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan. Semasa hidupnya, karena keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Namun, setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun setelah ia berpulang).
Ketiga, Tolchah adalah pakar hukum tata negara terkemuka pada masanya, sekaligus seorang kiai mumpuni yang berwibawa. Keempat, hasrat umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat dikatakan sebagai ‘hasrat laten’.
Terlepas ada tidaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menunggangi mereka, sejarah telah membuktikan adanya usaha beberapa pihak untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di era kontemporer ini, penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta beberapa kali juga diangkat kembali menjadi isu yang hangat. Jika kita ‘membaca’ Tolchah, sang pakar hukum tata negara yang kiai ini, tentu hasrat semacam itu menjadi patut untuk disayangkan.(hlm. vii)
Hadirnya buku ini tentu menjadi sangat penting. Sebagaimana penuturan Idy Muzayyad dalam epilognya, ada dua hal yang sangat berseberangan berkaitan dengan lahirnya buku yang merekam jejak petualangan Profesor Tolchah. Pertama, ada rasa bangga, karena dengan buku ini, generasi muda (khususnya IPNU) mengetahui bahwa dalam sejarah awal organisasi pelajar ini terdapat seorang tokoh yang patut dibanggakan. Di sisi lain, dengan membaca buku ini kita juga patut merasa malu, karena sebagai pewarisnya kita belum mampu sepenuhnya meniru prestasi yang telah ditorehkan beliau. (hlm.259-260).
Melalui buku ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri masa lalu kehidupan KH Tolchah yang penuh dengan keteladanan, pengalaman, dan cita-cita besar. Banyak hal yang tentunya patut dijadikan sebagai rujukan dalam mengarungi medan perjuangan yang dihadapi saat ini. Dengan terbitnya buku ini, seseorang bukan hanya dapat ‘membaca’ Tolchah secara lebih komprehensif, melainkan juga membaca dirinya sendiri. Sebab, membaca perjalanan hidupnya berarti memetik inspirasi; membaca sepak terjangnya bermakna menuai spirit; dan membaca percik pemikirannya adalah mencerahkan. Lebih dari itu semua, buku ini adalah sebuah usaha melawan alpa: sebuah upaya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah!
* Alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sedang Menempuh Program Magister di Universitas Negeri Malang
Selengkapnya...
Gaya Perjuangan Kiai untuk Kaum Tani
Judul: Entrepreneur Organik (Rahasia Sukses KH Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat ”Sayuriah”-nya).
Penulis: Faiz Manshur
Kata Pengantar: Dr Bisri Effendy, Prof Dr Sri Edi Swasono, Prof Dr Ahmad Syafii Maarif
Penerbit: Nuansa Cendekia (IKAPI) Bandung, September 2009.
Tebal: 392 Halaman
Harga: Rp 88.000
Peresensi: Adi Maulana
Pondok pesantren dan petani sesungguhnya adalah dua elemen yang tumbuh berkembang sejak lama dan terus mengikat. Mayoritas umat Islam itu sendiri adalah kaum tani, sedangkan kaum santri yang mendapat pendidikan dari pesantren juga kebanyakan anak-anak petani. Maka adalah sesuatu yang sangat realistis manakala seorang kiai selaku guru agama sekaligus tokoh kultural di masyarakat setempat menjadi pioner dalam urusan pertanian.
Sayangnya, akhir-akhir ini ada sesuatu yang bermasalah dari keduanya. Pesantren yang selama ini dikenal sebagai pendidikan agama tercoreng citranya gara-gara ulah segelintir umat Islam dengan aksi terorisme. Sejarah memang membuktikan pesantren bukan sarang radikalisme, tetapi hanya karena kebetulan ada beberapa santri dan kiai pemilik pesantren yang terlibat terorisme, citra pesantren pun dirusuhi oleh isu tersebut. kedua, dunia pertanian itu sendiri di Indonesia selama ini sangat marjinal dan diterlantarkan. Akibatnya pesona pertanian dijauhi oleh generasi bangsa ini.
Namun di tengah-tengah kenyataan yang buruk-citra tersebut, buku ini sekarang memberikan kesaksian lain tentang kehidupan pesantren, kaum santri, seorang kiai, dan kaum tani. Buku hasil Entrepreneur Organik ini memberikan kesaksian bahwa seorang kiai sejati bukanlah semata ahli agama dan guru mengaji kitab kuning, melainkan juga seorang motivator, otodidak dalam ilmu pengetahuan, pemberdaya, ilmuwan dan seniman sekaligus.
Sang aktor, KH Fuad Affandi, pengasuh Pondok-Pesantren Al-Ittifaq, Dusun Ciburial, Kelurahan Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, oleh Dr Sri Edi Swasono dianggap lokal genius karena kemampuannya memperjuangkan nasib kaum tani; mengentaskan dari kemiskinan ekonomi, mencerdaskan masyarakat dari jurang kebodohan, dan lebih dari itu mampu menjaga lingkungan alam dengan pertanian berparadigma organik.
Istilah Entrepreneur Organik memang lekat dengan pertanian organik, namun yang dimaksud di dalam buku ini ialah, seorang wirausahawan yang memperjuangkan kesejahteraan secara bersama. Ini dibedakan oleh penulisnya dengan entrepreneur (murni) yang hanya mengejar kekayaan pribadi dan juga dibedakan dengan entrepreneur sosial yang memperjuangkan orang lain setelah dirinya meraih sukses.
Entrepreneur Organik, dalam hal ini Fuad Affandi, alumni Pesantren Al-Hidayah Lasem itu adalah seorang usahawan yang merintis usaha pertanian secara bersama, berjuang bersama sejak awal dan meraih kesuksesan besar secara bersama. Kemampuan sang peraih penghargaan Kalpataru 2003 dalam bidang penyelamat lingkungan itu benar-benar spektakuler. Anak-anak terlantar ditampung di pesantren tanpa biaya sepeser pun. Mereka yang diabaikan oleh orangtuanya atau karena nasibnya yang buruk akibat tidak diperhatikan negara mendapat fasilitas sekolah, nyantri dan berwirausaha sejak remaja. Dengan metode pendidikan yang humanis dan memadukan antara teori dan praktik itu, ratusan anak-anak miskin dari berbagai daerah mendapat kesempatan belajar bertani secara baik.
Para petani di sekitar pondok pesantren pun ikut merasakan berkah dari kepemimpinan KH Fuad Affandi karena dengan koperasi pertaniannya, mereka mampu berbudidaya pertanian secara modern dan tidak diterlantarkan pasar bebas. Wajar manakala sepuluh tahun terakhir ini sekarang Pesantren Al-Ittifaq yang terletak di dekat kawasan Wisata Kawah Putih dan Wisata Stroberi Rancabali itu menjadi pusat pelatihan pendidikan pertanian dari berbagai daerah di Indonesia dan sering mendapat kunjungan dari luar negeri.
Buku hasil pergulatan riset lapangan yang ditulis dengan gaya tutur popular ini memang sangat inspirasional. Selain mampu menggambarkan dunia sejati pesantren yang sangat komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan dan etos kerja, juga mampu membuktikan bahwa menjadi petani itu tidak identik menjadi miskin. Buku ini juga memberikan jawaban yang tentang beberapa hal, di antaranya, kiat memproduksi pertanian semi-organik, manajemen koperasi untuk kaum tani, strategi pemasaran menembus pasar besar di kota, dan lebih dari itu adalah kemampuan KH Fuad dalam menjawab tantangan dunia pertanian.
* Wirausahawan dalam pengembangan Dinar-Dirham, tinggal di Jakarta
Selengkapnya...
Kiai Politik Politik Kiai
Judul : Kiai Politik Politik Kiai
Penulis : Dr H Abd. Latif Bustami M Si
Editor : Ahmad Haidar
Penerbit : Pustaka Bayan
Distributor : Khalista Surabaya
Cetakan : I, 2009
Tebal : xv+278 hlm.
Peresensi : Noviana Herliyanti
Kiai adalah figur yang selalu dihormati kapan dan dimanapun keberadaannya.
Tak bisa dipungkiri jika kehadirannya di anggap berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar. Kiai merupakan pewaris para Nabi sebagai penuntun jalan bagi kehidupan pada masa sekarang ini, di mana kebaikan merupakan hal asing atas menjamurnya nilai-nilai kejelekan. Sehingga peran dan gerakan politik kiai, sampai saat ini mampu mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Bahkan yang ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, tidak terlepas dari peranan para kiai.
Entah karena memang sudah demokrasi yang telah ternodai atau status kiai terkotori oleh segelintir yang disebut kiai palsu yaitu ketidaksesuaian antara perkataan, perbuatan dan ketetapan dalam melaksanakannya, menjadikan yang disebut politik kiai merupakan hal yang kotor. Padahal manusia dan kiai merupakan bagian dari masyarakat, tidak akan pernah terlepas dari yang namanya politik. Dan sejak lahirpun kita telah diperkenalkan oleh politik, entah kita sadari atau tidak.
Pesantren dan masyarakat, adalah lingkungan di mana seorang kiai merupakan pegangan sebagaimana rakyat jelata menyerahkan segala keputusan hidupnya pada sang raja. Tapi kiai, ia orang yang berilmu dan beribadah di mana setiap perilakunya menyatu antara perkataan, perbuatan dan peraturan yang tertulis atau tidak.
Seorang peneliti Clifford Geertz, mengatakan bahwa peran kiai hanyalah sebagai “makelar budaya”. Benarkah demikian? Lalu bagaiamana tugas utamanya sebagai pewaris para Nabi? Bukankah masih banyak hal yang tak hanya dilestarikan tapi juga mempertanyakan tentang berbagai konflik baru termasuk politik?
Kiai merupakan sentral pengetahuan, dan keagamaan. Masyarakat lebih mempercayakan setiap permasalahannya pada kiai dari pada tokoh masyarakat yang lain. Karena predikat kiai tak hanya sebatas opini publik, melainkan tugasnya adalah orang yang mengajar dan mendidik manusia.
Berangkat dari predikat kiai yang diuraikan di atas, penulis buku ini lebih menonjolkan istilah politik kiai-kiai politik. Bahwa pada dasarnya kiai merupakan penunjuk jalan politik benar-salah dan hitam putih bukan politik menang-kalah atau abu-abu. Tugas kiai adalah penerang antara yang salah dan yang benar, bukan yang menang diperjuangkan walau harus hitam yang dilewati. Peran kiai bagaimana ia mampu merekonstruksi bahwa dunia politik itu putih dan yang hitam harus dienyahkan dari dunia politik.
Masyarakat mempunyai penilaian tersendiri atas status rangkap yang dimiliki kiai. Kiai independen lebih mereka hormati dari pada kiai yang berafiliasi pada kekuasaan Negara. Realitasnya, rakyat mulai kehilangan kepercayaan yang telah mendarah daging pada sosok yang dikenal kiai. Di mana pada saat sekarang ini, kiai mulai berlomba-lomba meraih kursi kekuasaan. Parahnya ada yang telah merabunkan jalan politik itu sendiri.
Kiai seharusnyalah menempatkan posisinya sebagaimana status ulama, ngopeni, mengayomi yang kata orang madura “manjeki” pesantren dan masyarakat. Ranah politiknya hanya di pesantren dan masyarakat bukan merangkap sebagai negarawan. Karena realitasnya ketika kiai mulai terjun ke dunia kekuasaan, tak lagi nilai-nilai keagamaan yang menjadi prioritas utamanya.
Seperti halnya Jawa Timur saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagian besar kiai tapi tak justru mengurangi hitam kelamnya para pengeruk darah rakyat, kelaparan tak jua musnah, kemiskinan ternyata malah meningkat. Walau tak sedikit yang benar-benar memperjuangkan tapi lihatlah bahwa, penyebab kondisi di atas terjadi atas keringnya rohani dan minimnya pengetahuan keagamaan masyarakat pada saat ini.
“Jikalau tidak ada ulama/kiai, niscaya keadaan kehidupan manusia seperti binatang”. Perkataan Imam Hasan tersebut, semakin mempertegas bahwa peran dan fungsi kiai adalah sebagai pendidik dan bertugas menyiapkan generasi masa depan yang mampu menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ketika kiai mampu melahirkan generasi-generasi yang tak hanya mengkotori nilai-nilai politik, tapi juga membersihkan noda yang melekat padanya serta mampu melestarikan kehidupan politik yang sehat. Maka predikat kiai sebagai ahli ibadah yang berilmu akan tetap sejajar dengan status Nabi, sebagai penyelamat manusia dari nilai-nilai kebobrokan manusia.
Buku ini menguraikan secara gamblang tentang peran kiai yang telah mewarnai perpolitikan di Indonesia. Sayang, penulis tak menyertakan gagasan tentang peran kiai yang seharusnya dan selayaknya seperti apa. Namun kehadiran buku ini sangatlah dibutuhkan dan bermanfaat bagi para politisi khususnya bagi kalangan santri. Juga penulis buku ini patutlah diapresiasi, karena ia membantu memberikan pelajaran politik demi tegaknya demokrasi bangsa ini. Semoga bermanfaat amin.
Peresensi adalah Alumnus PP An-nuqayah Guluk-guluk Sumenep, Mahasiswi Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan saat ini aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya.
Selengkapnya...
Fiqih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer
Judul Buku : Fiqih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer
Penulis : Khoiril Anam, SHI., MSI.
Penerbit : Ide Pustaka
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 248 hlm
Peresensi : Marsus Ala Utsman*
Di tengah-tengah carut-marutnya politik kontemporer yang sedang melanda negara Indonesia dewasa ini, buku Fiqih Siyasah hadir menyeruak membawa angin segar yang berisi analisis komprehensif tentang bagaimana kita berpolitik seharusnya.
Dengan beberapa contoh konkrit kekinian dan dalil-dalil syar'i yang dikupas secara empatik dan mendalam. Baik dalam hal politik tentang keislaman, lebih-lebih politik ekonomi yang sekarang marak-maraknya terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, di tengah gagap gempitanya arus modernisasi dan globalisasi yang banyak ditandai dengan keterpurukan negara-negara muslim, maka wajar sebagai umat Islam berinisiatif untuk merombak kembali sebagai solusi untuk tegaknya sistem politik yang kian runtuh di negara kita ‘Indonesia.’
Buku ini ditulis dengan gigih dan mencermati pola gerakan politik-politik dari masa-masa awal hingga bagaimana menjawab berbagai persoalan yang kerap kaitanya dengan sistem pemerintahan, dan masalah-masalah realitas yang terjadi saat ini. Selain itu dalam buku ini juga memuat berbagai teori yang dilengkapi dengan wacana politik kontemporer sebagai perpaduan antara teori dan praktik serta dipandu dengan berbagai dalil-dalil syariat yang cukup rasional.
Kaum intelektual dan orang-orang Islam di berbagai kalangan hendaknya meneriakkan suara mereka untuk menyerukan kesetaraan dalam menikmati kemerdekaan dan hak asasinya. Terkait dengan kondisi umat Islam sekarang ini yang mengalami keterbelakangan, terutama keterbelakangan moral akibat sistem pemerintahan sekuler yang jauh dari nilai-nilai syariat. Sebenarnya kesetaraan nilai-nilai itulah yang merupakan jalan sesungguhnya menuju kedamaian sosial, stabilitas nasional, dan tatanan dunia baru dalam rangka memerangi kezaliman, kejahatan, dan permusuhan.
Di tengah ramainya perdebatan tentang persoalan politik, ada baiknya bagi para pejabat-pejabat baru agar mempertimbangkan solusi sebagian umat Islam yang berpandangan bahwa salah satu solusi keterbelakangan tersebut mungkin bisa ditempuh dengan menegakkan kembali sistem kekhilafahan yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat. Namun, yang menjadi titik permasalahan dalam mengembalikan nilai-nilai politik Islam yang tertuang dalam syariat, kadang terlalu reaksioner dan vulgar, sehingga tidak jarang mendapat perlawanan dari berbagai pihak, terutama bagi mereka yang lebih mengedepankan substansi dalam memahami hukum Islam.
Dalam persoalan politik, seakan-akan para pemuda (Islam) tidak diberi ruang untuk menentukan arah masa depan bangsa. Ini bisa kita lihat dari sikap para generasi tua yang selalu melakukan politik komoditas terhadap pemuda. Dengan terpilihnya para pajabat-pejabat baru 2009, harapan besar bagaimana agar pemuda tidak hanya diberi posisi sebagai alasan strategis saja untuk menjalankan program tim dengan sukses. Pemuda dalam hal ini hanyalah alat, dan sebuah objek, bukan subjek yang berhak menentukan arahnya sendiri. Mungkin inilah penyebab salah satunya, dari sikap apatis terhadap politik yang selama ini menjalar pada sebagian pemuda di negara kita.
Sebuah tuntutan yang sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana penguasa umat Islam memanfaatkan aparaturnya justru untuk memata-matai dan mengintimidasi masyarakatnya sendiri. Penulis pun mengupas habis tinjauan syariat dan fiqih termasuk pertimbangan maslahat dan mafsadat (kebaikan dan kerusakan) berparlemen. Selain itu juga banyak mengupas berbagai keterangan-keterangan yang tercantum dalam al-Qur’an.
Pada prinsipnya bahwa, kekuatan pertama kali yang harus dimiliki oleh para pengatur jalannya sistem politik adalah kekuatan akidah dan keimanan, berikutnya, barulah kekuatan persatuan dan ikatan antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain.
*Peresensi adalah mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sunday, January 10, 2010
Tafsir Sosiolinguistik
Judul : Tafsir Sosiolinguistik
Penulis : M. Faisol Fatawi
Penerbit : UIN Press
Cetakan : I Juni 2009
Tebal : 170 halaman
Peresensi : M. Kamil Ramma Oensyar*
Salah satu tradisi ilmu pengetahuan yang tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an adalah tafsir.
Tafsir merupakan tradisi keilmuan yang telah dirintis oleh generasi muslim awal untuk memahami dan menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dalam khazanah pengetahuan Islam, tafsir Al-Qur’an tidaklah seragam. Ada berbagai macam bentuk tafsir diantaranya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’y. Munculnya ragam tafsir tersebut mengantarkan kita pada sebuah kenyataan akan adanya multi pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qu’ran.
Bagi umat Islam kegiatan interpretasi terhadap Al-Qur’an adalah menjadi tugas yang tak kenal henti. Karena, ia merupakan usaha untuk memahami pesan ilahi. Namun demikian, sehebat apapun manusia, ia hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif, dan kebenarannya pun tidak dapat mencapai derajat absolut. Tegas M. Nur Kholis Setiawan dalam bukunya “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Wahyu Tuhan dipahami secara variatif dari satu waktu ke waktu yang lain. Ini berarti kegiatan menafsirkan wahyu Tuhan (exegesis) telah menjadi disiplin keilmuan yang selalu hidup seiring dengan perkembangan teori pengetahuan para pengimannya.
Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemahaman seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu, tafsir sebagai hasil ijtihad pikiran manusia tidak dapat mengklaim dirinya sebagai yang paling benar. Setiap penafsiran memiliki keterbatasannya masing-masing. Sebagaimana Abu Darda pernah menyatakan engkau tidak dapat paham betul, sampai engkau dapat melihat berbagai wajah Al-Qu’ran.
Buku yang berjudul “Tafsir Sosiolingiustik” ini mengajak kita untuk menyelami kandungan Al-Qu’ran dengan perspektif sosiolinguistik untuk memahami huruf muqatha’ah dalam al-Qu’ran. Tidak banyak buku yang menyelami kandungan Al-Qu’ran dengan perspektif sosiolinguistik seperti buku buah karya M. Faisol Fatawi ini. Kerangka filosofis dalam berfikirnya dapat menggugah hati nurani yang sulit ditemukan pada buku-buku lain.
Huruf muqatha’ah merupakan bahasa Al-Qu’ran sebagai fakta kebahasaan telah menjadikan bahasa Arab sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan ilahi melalui seorang nabi kepada umatnya. Secara strukur bahasa, huruf muqatha’ah telah menunjukkan kepada dirinya sendiri akan sauna huruf yang membentuknya. Kata dalam bahasa Arab biasanya disusun dari minimal satu huruf hingga lima huruf. Begitu juga huruf muqatha’ah ada yang terdiri dari satu huruf seperti qof, nun, dan shad. Ada yang dua huruf seperti hamim (dari huruf ha dan mim), thaha (dari huruf tha dan ha) dan yasin ( dari huruf ya dan sin). Ada yang tiga huruf seperti alif lam mim, alif lam ro dan lain-lainnya.
Sosiolinguistik adalah salah satu disiplin ilmu yang terdapat dalam kajian linguistik. Ilmu ini memfokuskan kajiannya pada keterkaitannya antara bahasa dengan kondisi sosial yang melingkupinya; mempelajari budaya melalui bahasa dan mempelajari bahasa melalui budaya. Ada keterkaitan yang erat antara praktik berbahasa dengan budaya, dan sebaliknya ada keterkaitan antara praktik budaya dengan praktik berbahasa.
Sebagai genre bahasa yang unik, huruf muqatha’ah yang dipakai dalam Al-Qu’ran dalam konteks penolakan orang-orang Arab yang tidak mau menerima ajaran yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sudah maklum, bahwa masyarakat Arab pra Islam adalah orang-orang yang ahli di bidang bahasa. Mereka menggunakan bahasa Arab dengan penuh kefasihan dan kejelasan. Mereka adalah para ahli seni bertutur dan berucap (bulaghâ’ wa Ahl al-bayân). Keahlian masyarakat Arab pra Islam dalam hal bahasa tidak dapat ditandingi oleh masyarakat manapun pada zamannya.
Karena itu masyarakat Arab mengklaim bahwa Al-Qur’an bukan merupakan firman Allah, maka tidak mengherankan jika tantangan pertama yang dilontarkan oleh Al-Qur’an kepada mereka yang ragu, adalah menyusun kalimat semacam Al-Qur’an sebagaimana disebutkan “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" (QS. Al-Isra’: 88). Oleh karena itu dalam konteks komunikasi yang khas. Kekhasan komunikasi seperti ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya dan agama masyarakat Arab.
Aisyah Abdurrahman binti syathi dalam sebuah kajian tafsirnya mengenai huruf muqatha’ah menyimpulkan, pertama bahwa huruf muqatha’ah yang terdapat dalam beberapa surat di dalam Al-Qur’an diturunkan berkaitan dengan terjadinya perdebatan sengit mengenai keberadaan Al-Qur’an, kedua seluruh surat diawali dengan huruf muqatha’ah menyinggung masalah kehujjahan Al-Qur’an, ketiga bahwa mayoritas surat yang diturunkan pada saat orang-orang musyrik sedang genjar-gencarnya menyerang dan mengklaim Al-Qur’an sebagai kalam yang penuh dengan kebohongan, omongan tukang dukun, penyair sihir dan sebagainya. (h.126)
Melalui buku ini kita akan memahami bahwa huruf muqatha’ah telah dipakai oleh Al-Qu’ran sebagai komunikasi yang efektif dalam rangka mengubah cara berpikir masyarakat Arab yang tribal-paganistik, supaya mereka mau menerima ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah SWT.
* Peresensi adalah Staf Pengajar PKPBA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Pengurus Lakpesdam NU Cabang Kota Malang
Selengkapnya...
Politik Santri: Cara Menang Merebut Hati Rakyat
Judul Buku : Politik Santri: Cara Menang Merebut Hati Rakyat Penulis : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), 2009
Tebal : 304 halaman
Harga : Rp. 55.000,-
Peresensi : Humaidiy AS*
Islam dengan politik tetap menjadi bahan perbincangan menarik untuk dicermati terlebih menjelang pil[pres Juli 2009 nanti.
Dari perspektif politik (upaya mencari dukungan untuk menduduki kursi kekuasaan), suara umat Islam yang nota bene adalah mayoritas sampai saat ini masih menjadi kartu truf dalam upaya untuk memperoleh kursi dalam kekuasaan. Bagi elit politik Indonesia, Islam ibarat "gadis cantik" yang selalu dijadikan rebutan untuk memperbesar kekuatan masing-masing partai politik.
Abdul Munir Mulkhan melalui buku yang berjudul Politik Santri; Cara Menang Merebut Hati Rakyat, berusaha menelusuri sejauh mana manuver partai-partai politik berbasis Islam (diistilahkan oleh penulis sebagai politik santri) berhasil bertahan dalam lingkaran pertarungan politik praktis dengan berbagai ideologi yang di bawanya, lebih khusus mencermati kiprah perjalanan politik oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah ”anak kandung” dari rahim gerakan Islam-tradisional; Nahdlatul Ulama (NU) dan gerakakan Islam-modernis; Muhammadiyah, yang tak lain adalah dua ormas terbesar di negeri ini.
Keterlibatan politik santri terlihat jelas dari perjalanan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar santri yang lahir sejak zaman sebelum kemerdekaan. Dalam perjalannya, keduanya tidak pernah benar-benar terlepas dari kegiatan politik walaupun menyatakan diri bukan bagian dari gerakan politik seperti dirumuskan dalam khittah masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari upaya memasukkan Islam kedalam kekuasaan menjadi dasar negara secara resmi.
Pada era 1950-an, terjadi pertentangan ideologis di antara partai politik yang ada. Konflik itu dipicu oleh perdebatan apa seharusnya yang pantas menjadi dasar negara setelah penjajahan. Perdebatan itu meliputi tiga macam yang harus dijadikan dasar negara, Pancasila, Islam, dan sosial ekonomi.
Partai-partai Islam menghendaki Islam dijadikan dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok partai nasionalis menolaknya. Rancangan pembukaan undang-undang dasar yang mengatakan, sila pertama ketuhanan dengan menjalankan syariah bagi pemeluknya, (Piagam Jakarta) ditentang oleh kelompok non-Islam. Melalui perbincangan yang sangat melelahkan, akhirnya umat Islam menerima keberatan kelompok non-Islam dan nasionalis dengan bersedia menghapus tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta. Sampai runtuhnya rezim Orde Baru, dasar negara tidak pernah dipertanyakan. Baru pada era Reformasi, dasar negara mulai dipertanyakan kembali. Muncullah sebagian kelompok Islam yang menghendaki Islam dijadikan dasar resmi kenegaraan dan memberlakukan syariat Islam sebagai hukum resmi pemerintah.
Asumsi yang digunakan, menggunakan Islam sebagai dasar negara adalah salah satu cara efektif untuk mengatasi krisis multidimensi bangsa Indonesia. Perbincangan Islam sebagai ideologi negara, kembali terjadi di antara partai politik Islam. PAN dan PKB secara tegas menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Alasannya, Indonesia terdiri dari penduduk yang pluralis dalam hal suku, etnis, agama, dan budaya. Sementara itu, PPP, PBB dan Partai Keadilan, setuju Islam menjadi dasar negara Indonesia. Banyak pihak kemudian memandang bahwa keterlibatan gerakan politik gerakan Islam dalam dunia Islam bisa menghambat pertumbuhan demokrasi. (hal. 45).
Menurut penulis, perdebatan hubungan Islam dan politik, khususnya keterlibatan gerakan Islam dan kaum santri dalam dunia politik diakibatkan bahwa kaum santri meletakkan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai realisasi kebenaran ajaran agama yang sebenarnya profan dan sangat ptragmatis. Cara pandang ini menyebabkan aktivitas politik santri mengalami kesulitan berkomunikasi secara terbuka dan dialogis dengan konstituen rakyat pemilih (hal. 233).
Walaupun lebih dari 87% penduduk Indonesia memeluk Islam, tidak semua pemeluk Islam kemudian mendukung partai Islam. Ironisnya, perolehan suara partai Islam dalam seluruh pemilu yang dilangsungkan tidak pernah mencapai 50% dari jumlah pemeluk Islam. Suara tertinggi dicapai dalam pemilu pertama tahun 1955 (43%) dan cenderung terus mengalami penurunan.
Kenyataan ini akan terus bergulir berkelindan sepanjang identitas ideologi politik partai islam selalu berkutat pada jargon doktrin “normatif” keagamaan dan cenderung elitis, sementara agenda-agenda “seksi” seputar permasalahan sosial seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan yang lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat luas dimanfaatkan dengan baik sebagai flatform (bentuk kebijakan) oleh partai-partai berbasis nasionalis atau sekuler. Simpati publik pun mengalir, sehingga mereka meraih dukungan mayorits muslim. Parpol Islam hanya menawarkan flatform berdasar rumusan formal ajaran yang kurang membumi tanpa kemauan untuk memahami realitas sosial, ekonomi dan budaya rakyat kebanyakan.
Lebih jauh, jika kita perhatikan, politik Islam Indonesia memang banyak yang bercorak formalistik dan jauh dari substansi. Konflik kepentingan dan pandangan yang berbuntut perpecahan internal banyak terjadi di tubuh partai Islam atau berbasis umat Islam. Perpecahan dan konflik hampir merata terjadi di tubuh PPP, PKB, PAN dan PBB adalah fakta yang tak terbantahkan. Hanya jika islam ditawarkan dengan bahasa rakyat, peluang partai santri memperoleh dukungan mayoritas pemilih muslim dan rakyat secara keseluruhan akan terbuka.
Membangun sinergi kesadaran
Masa depan suatu partai, apakah ia dibangun dari sebuah keyakina teologis, tradisi lokal ataupun ideologi sekuler, pada akhirnya ditentukan bagaimana aktivitas partai tersebut membangun komunikasi dengan konstituen. Kegagalan perjuangan politik Islam terjadi terutama tidak adanya kesesuaian antara doktrin dan aksi politik. Kenyataan demikian dapat dilihat setidaknya dari dua hal, pertama, anggapan bahwa doktrin yang berupa wahyu tampak hanya bersifat konseptual dan universal tanpa kesadaran perlunya tafsir ulang. Sebut saja misalnya penolakan-penolakan mereka terhadapa de-ide Barat dan kengototan untuk menerapkan syariat islam secara formal.
Kedua, doktrin agama tidaklah menjadi faktor penentu utama dalam aksi politik. Artinya, meskipun partai Islam menekankan pada egaliteranisme, keadilan dan kesejahteraan rakyat, namun faktor ekonomi dan sosial lebih ditonjolkan oleh aktivis Islam politik. Hal ini tampak pada pragmatisme dan opurtonisme yang banyak menjalar pada politisi Islam.
Mulkhan dalam penelusuran bab demi bab dalam buku setebal 304 halaman ini menekankan, bahwa jika ingin merebut simpati masyarakat muslim dan memenangi pemilu, parpol Islam harus melepas keengganan untuk membangun sumber daya manusia (generasi muda santri), terutama melalui pengkajian ilmu pengetahuan secara mendalam dan pengaturan manajemen yang efisien. Selama ini, kekuatan politik santri lebih banyak dikerahkan pada aspek ideologis simbolis dan kekuasaan yang bersifat semu dan sesaat saja.
Politik umat Islam ke depan –meminjam istilah Kuntowijoyo— haruslah melakukan objektivitas terhadap praktik perjuangan politiknya. Artinya, mereka yang bergerak dilevel partai dan ormas keislaman seyogyanya memperjuangkan aspek-aspek substansi islam, memperbaikai pendidikan dan pemberantasan KKN serta bersikap toleran terhadap umat agama lain demi pelakukan pembebasan kemanusiaan. Di luar itu semua, bangsa Indoenesia suadah selayaknya tidak lagi terjebak dalam simbol-simbol politik semacam sosialis, agamis ataupun nasionalis.
Yang dibutuhkan bangsa sekarang ini adalah pemerintah yang cerdik melakukan prioritas tindakan dan kebijakan politik demi tumbuhnya iklim demokratisasi yang sehat. Jadi, bukan pemerintahan atau partai yang hanya pandai beretorika dan mengelabui massa dengan mengedepankan ideologi tertentu. Krisis politik, ekonomi, hukum, moral dan budaya Indoensia sudah saatnya diselesaikan dengan cara membangun sinergi kesadaran bersama oleh setiap elemen bangsa ini tanpa terjebak pada simbol golongan dan ideologi. Selamat membaca!
*Peresensi adalah peneliti pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
Selengkapnya...
Gerakan Pena Kaum Sarungan
Judul Buku : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis : Rizal Mumazziq Zionis, dkk.
Editor : Tsanin A. Zuhairi, S,Hi, M.Si.
Prolog : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I; 2009
Tebal : vii + 224 halaman
Peresensi : Anwar Nuris*
Verba volant, scripta manent (kata-kata akan sirna, tulisan akan membuatnya abadi)
Di tengah maraknya santri pesantren saat ini yang sindrom jejaring sosial semacam Facebook sebagai media sharing dan menulis, terdapat anekdot menarik yang berkembang dikalangan mereka. Seorang santri yang tidak mau dan mampu menulis, ibarat burung bersayap satu. Burung itu hanya mampu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, atau terbang pendek dari satu pohon ke pohon lain yang jaraknya sangat dekat. Santri yang tidak mau menulis hanya mampu mengaji dan mengkaji dari satu halaqah ke halaqah yang lain. Santri yang mau menulis akan mampu mengembangkan pemikiran dan ilmu mereka lebih luas, tanpa dibatasi oleh sekat apapun, terlebih di era digital seperti sekarang ini.
Mereka (santri) sepertinya tersihir oleh lembar sejarah kepenulisan para pendahulunya. Aviecena (Ibnu Sina) yang dikenal karena kepakarannya di bidang kedokteran. Buah karyanya berjudul al-Qanuun fit-Thibb menjadi rujukan beberapa fakultas kedokteran di Barat. Bahkan dengan karyanya itu, ia dinobatkan sebagai bapak kedokteran dunia. Selain itu ada Imam al-Ghazali dengan magnum opus-nya Ihya’ Ulumiddin yang konon menjadi rujukan negeri Barat dan Eropa selama lebih kurang 7 abad lamanya. Al-Khawarizmi, Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi sang profesor Matematika, Ibnu Al-Haytam yang ahli Eksprimentalis, Al-Biruni sang pegiat Fisika, Ar-Razi yang menggeluti ilmu Kimia, dan masih banyak yang lainnya.
Buah pemikiran cendikiawan yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut telah merubah peradaban dunia hingga seperti sekarang. Berkat buku yang di dalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan telah menjadikan dunia lebih berwarna. Alam tidak lagi gelap karena Thomas Alfa Edison yang telah menemukan listrik. Manusia bisa bepergian cepat sampai tujuan dengan sarana kereta api berkat mesin uap yang ditemukan James Watt. Karya-karya mereka lah yang membuat mereka dikenal. Karya yang tidak lapuk oleh waktu, karena ditulis dalam sebuah media bernama buku atau kitab, sehingga bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di bawahnya.
Dalam konteks Indonesia, Tradisi kepenulisan juga amat kuat. Banyak cendekiawan Islam di negeri ini yang menulis buku, kitab, atau pun karya tulis yang lain. Mayoritas dari mereka dididik dan dibesarkan oleh lingkungan pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, pesantren memiliki tradisi unik dan unggul yang jarang didapat pada lembaga lain. Dan salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Pola gerakan yang dilakukan ulama salaf untuk memperoleh dan mentransformasikan keilmuannya tidak hanya membaca dan mengkaji, tetapi berkontemplasi dan kemudian menerjemahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan.
Mereka (ulama salaf) mampu melahirkan dan mewariskan karya-karya tulis yang ternyata masih dipelajari oleh berbagai pondok pesantren atau sekolah sampai sekarang. Tidak sedikit pula dari karya ulama atau kiai Indonesia yang dikenal luas di berbagai belahan bumi. Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Tirmasi, atau Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky adalah di antara para punggawa pesantren di Indonesia yang karyanya telah melabuhi pemikiran intelektual Islam di berbagai Negara.
Selain mereka, “santri Indonesia” yang lain juga banyak menelorkan karya-karya yang bagus dan monumental. Beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH. Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH. Hasyim Asy’ari dengan Adab al-Alim wa al-Muta’allim, KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz dan KH. Sahal Mahfudz dengan Thariqah al-Ushul ala al-Ghayah al-Ushul. Rata-rata tulisan mereka tetap di baca saat ini bahkan menjadi referensi utama dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.
Dus, santri sebagai salah satu elemen pesantren tidak hanya ta’dzim terhadap pemikiran gurunya, tetapi juga patuh dan meniru dalam usaha mendapatkan pemikiran kreatif. Kreatifitas menulis yang dikembangkan kaum santri akan menjadi media dakwah sejati bagi umat Islam dan untuk generasi mendatang nanti. Pesantren tidak akan disebut lembaga eksklusif bila mampu melahirkan pemikiran kreatif serta ide-ide cerdas demi pengembangan dan dakwah Islam sesuai dengan visi dan misi pesantren.
Oleh karena itu, persepsi yang berkembang bahwa tradisi menulis di kalangan santri kini lengang dan seakan mati suri itu tidak benar adanya. Buku Jalan Terjal Santri menjadi Penulis ini hadir sebagai bukti bahwa kaum santri intelektual (pesantren) telah "berusaha" mengikuti gerakan pena para pendahulunya meskipun hanya sebatas tulisan pendek (opini, artikel, antologi sastra, kolom, dan lain-lain) yang tersebar di media massa maupun elektronik.
Buku ini juga sebagai antitesa terhadap anggapan mayoritas masyarakat bahwa menulis itu adalah bakat. Faktanya, menulis dapat dipelajari asal ada kemauan, keberanian, dan ketekunan berlatih. Dengan kemauan kuat, setiap orang akan mahir menulis. Membaca teori saja tidak pernah cukup. Ibarat orang belajar berenang, kalau hanya membaca teori tanpa pernah mempraktikkan, tentu dia tidak akan bisa berenang. (hal. 20-21)
Buku setebal 224 halaman ini merupakan kumpulan tulisan (curhat) tentang lika-liku penulis pemula maupun yang sudah agak tua dalam upaya mnyuratkan ide yang tersirat. Mereka yang mayoritas santri asli Jawa Timur ini sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Mereka aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Adalah Rijal Mumazziq Zionis, Noviana Herliyanti, Nur Faishal, Mohammad Suhaidi RB, Ach. Syaiful A’la, Azizah Hefni, Ahmad Muchlish Amrin, Salman Rusydi Anwar, Muhammadun AS, Ana FM, Ahmad Khotib, Fathorrahman JM, dan Hana Al-Ithriyah.
Dengan menulis mereka dapat mengatasi rasa amarah, iri, kelemahan diri, dan kebencian yang ada di hati. Menulis jelas sangat membantu mereka untuk mengatasi rasa sok tahu. Menulis dapat membuat diri lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu.
Dari tulisan-tulisan mereka dalam buku ini dapat diketahui bahwa jalan terjal yang dimaksud yaitu; memelihara keinginan dan semangat yang kuat, manajemen waktu yang mapan, banyak membaca dan berfikir, optimistis, komitmen dan idealisme yang tinggi, membebaskan diri dari keterikatan rasa salah, serta mencari dan menemukan tanpa menunggu berpangku tangan.
Sebuah buku yang melelahkan hingga mata tak mau terpejam.
* Peresensi adalah alumnus Pondok Pesantren Nasy-atul Muta’allimin Gapura Sumenep Madura, sekarang nyantri di Pondok Budaya IKON Surabaya
Selengkapnya...
NEGARA TUHAN
Penyunting : Maftuh dkk.,
Penerbit : SR-Ins Publishing,
Bulan : September 2004
Buku yang menyediakan data cukup kaya, meski otentisitas dokumen yang ditawarkannya belum teruji.
ORGANISASI Jamaah Islamiyah (JI) itu ada, sekurangnya sebagai sel Al-Qaidah yang melakukan kekerasan atas nama Tuhan dan siap mengambil alih Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pernyataan ini bisa dibaca dari buku "Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia" suntingan Maftuh dkk., terbitan SR-Ins Publishing, September 2004. JI bahkan lebih senior dari Al-Qaidah, mempunyai ikatan kuat dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba’asyir, dan berhubungan dengan DDII dan KOMPAK-nya.
Apa yang dimaksud Negara Tuhan tidak banyak dijelaskan kecuali penyebutan kosakata itu di berbagai tempat yang sebagian dibubuhi tanda kutip. Buku kumpulan karangan yang disebut “seribu halaman”, penyuntingnya lebih suka menyebut Alfiyah Ibna’ Az-Zaman itu, tidak menyertakan penulis ahli politik. Penyunting terkesan lebih menekankan uraian tentang jaringan Al-Qaidah dan JI dengan berbagai aksi bombing-nya.
Secara khusus 4 dari 13 artikel menguraikan secara detail hubungan Al-Qaidah, JI, MMI, Abu Bakar Ba’asyir, dan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Banyak organisasi Islam yang bermunculan belakangan ini disebut-sebut buku itu mempunyai hubungan dengan Al-Qaidah dan JI, terutama melalui alumni Perang Afganistan dengan kamp Peshawar-nya.
Murba menulis; “… anggota Al-Jama’ah Al-Islamiyyah memang telah berdiaspora ke beberapa organisasi lokal, baik itu yang sudah “dibekukan”, “membekukan”, dan “masih aktif”. Di sinilah dapat dipahami jika kemudian, bom-bom yang meledak selama pasca-reformasi adalah mereka yang pernah aktif sebagai “alumni Afghanistan” dan “alumni Mindano”. Kalimat yang tampak kurang lengkap atau salah letak kata seperti ini bisa ditemukan di banyak tempat, selain salah ketik di hampir semua halaman, yang mengganggu dan bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Selain itu, beberapa kesimpulan kurang didukung bukti yang kuat, kadang sulit dibedakan dari sumber yang dikutip, dan tampak bertentangan. Kejujuran laporan ICG dan Sidney Jones yang diragukan diikuti pernyataan: “Jika demikian halnya, aktifis Lasykar Jihad dan Majelis Mujahidin juga dapat dikategorikan sebagai Al-Jama’ah Al-Islamiyyah dan terkait erat dengan Al-Qaidah.” Di tempat lain dinyatakan: “… tidak ada sedikit pun statement yang menguatkan pandangan publik mengenai adanya jaringan Al-Qa’idah atau Al-Jama’ah Al-Islamiyyah di Indonesia... (hlm. 765). Dan: “… .sebagaimana diketahui, kelompok ini memang berasal dari mereka yang sekarang dicap oleh Sidney sebagai anggota Al-Jama’ah Al-Islamiyyah di Asia Tenggara.” (hlm. 747). “Belakangan beberapa aktifis Al-Jama’ah Al-Islamiyyah atau yang punya kaitan dengan Al-Qa’idah ternyata pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Ngruki, Solo.” (hlm. 741).
Penyimpulan hubungan Al-Qaidah, JI, MMI, dan Ba’asyir bersumber dokumen Al-Qaidah dan JI yang otentisitasnya belum teruji. Maftuh menyatakan: “Demikianlah beberapa 'pelajaran' yang didapatkan dari Manual al-Qaeda (di tempat lain ditulis Al-Qa’idah). Manual ini tentu saja masih perlu dilacak keabsahannya, akan tetapi melihat dari pola-pola teroris, dapat diakui kebenarannya.” Sementara ia meragukan apakah PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah) betul dokumen JI, dititipkan di JI, atau sengaja dibuat oleh tukang.
Tanpa bukti otentisitas dokumen-dokumen di atas, seluruh kesimpulan tentang hubungan Al-Qaidah, JI, MMI, dan Abu Bakar Baasyir bisa mentah. Sementara adanya hubungan disimpulkan dari kesamaan ide, pilihan kata, pemakaian bahasa, dan font yang dipakai. Pada halaman 864 dinyatakan: “… sebenarnya Al-Jama’ah Al-Islamiyyah ini bukan tidak mungkin sudah ‘nikah’ dengan Majelis Mujahidin…” Di tempat lain disimpulkan: “… adanya korelasi yang kuat antara PMIMADA (Pedoman Mengamalkan Islam menurut al-Qur’an dan as-Sunnah) Abu Bakar Ba'asyir dengan PUPJI-nya Al-Jama’ah Al-Islamiyyah yang tak terbantahkan”… (hlm. 895). “… tidak begitu salah jika disimpulkan bahwa JI dan MM adalah… berbeda dalam nama dan bahasa, bersatu dalam bentuk dan tujuan.” (hlm. 899).
Kumpulan tulisan sering menghadapi problem konsistensi alur pikiran yang harus dijaga penyunting. Namun buku Negara Tuhan ini menyediakan data cukup kaya yang penting bagi peneliti dan para pihak yang berminat. Terutama, aparat keamanan dan siapa yang tertarik menelusuri akar fundamentalisme dan jejak berbagai aksi teror bom di Tanah Air. Otentisitas merupakan prasyarat yang harus dipenuhi bagi sebuah penelitian dokumen yang bersifat rahasia.
PLURALISME AGAMA; HARAM
Resensi : Membongkar "Borok" Kesesatan JIL dan Ahmadiyah
Oleh: Rahmat Hidayat Nasution *
Ada musibah yang lebih menakutkan dibanding ledakan gunung Merapi yang kini sedang berstatus waspada. Dua diantara Musibah itu 'jaringan Islam Liberal' dan 'Jamaah Ahmadiyah'Ternyata, Indonesia saat ini sedang dihadapi dua musibah besar. Yaitu musibah akan meletusnya gunung merapi dan musibah "meletusnya" kembali "gaung" jaringan Islam Liberal. Tepatnya pada tanggal 17 April 2006, Dawam Raharjo dan teman-temannya melakukan demo terhadap menteri Agama RI, Maftuh Basumi dengan menggunakan jargon Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Keyakinan, untuk mencabut pernyataanya tentang sesatnya ajaran Ahmadiyah dan meminta maaf secara terbuka melalui media cetak dan elektronik atasan ucapannya.
Akting Dawam Raharjo pada saat ini hampir sama dengan akting yang diperankan Gus Dur dan kawan-kawan ketika menolak Fatwa MUI tentang sesatnya paham Ahmadiyah dan pelarangan pemahaman pluralisme agama, sekulerisme, dan liberalisme. Hanya bedanya, pada "episode" kali ini, Dawam Raharjo dan teman-temannya selain mengeluarkan tiga somasi, juga ada sedikit "nada" pengancaman terhadap Menteri Agama RI jika tidak menanggapi tuntutan mereka, maka skenario selanjutnya yang mereka tampilkan adalah menempuh jalur hukum. Sekalipun demikian, lakon kali ini, sebenarnya, hanya bertukar judul saja dengan apa yang terjadi pada Gus Dur dan kawan-kawannya terhadap fatwa MUI Juli 2005.Maka, cukup tepat sekali kebijakan yang dilakukan Menteri Agama RI untuk tidak akan mengajukan permintaan maaf terhadap jamaah Ahmadiyah, dan tidak mundur selangkah dalam menghadapi tekanan-tekanan di atas.
Dengan slogan "Maju terus pantang mundur" kayaknya Menteri Agama RI sudah siap menghadapi mereka. Apalagi, didukung olehFront Penanggulangan Ahmadiyah dan Aliran Sesat (FPAS).Itulah polemik yang tengah "meletus" pada saat ini. Adapun kewajiban kita sebagai muslim Indonesia saat ini adalah membantu Menteri Agama RI dari bahaya "letusan" yang dihembuskan oleh jaringan Islam Liberal. Caranya, dengan mengenal "borok" paham Islam liberal sendiri. Sebuah buku yang tebalnya 132 halaman dengan lebar 20,5 cm dengan data-data akurat dan analisa yang kritis telah memaparkan bebarapa "borok" jaringan Islam liberal. "Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak kontroversial" adalah judul bukunya.Memang, bila dilihat sejarah buku ini merupakan "bayan" untuk menjelaskan fatwa MUI dalam munasnya yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005, namun buku ini laik sekali untuk kita baca dalam memahami "borok-borok" yang terdapat dalam Jaringan Islam liberal dan menggugat kembali somasi yang dikeluarkan Dawam Raharjo. Karena, somasi-somasi yang dihaturkan Dawam Raharjo dan teman-temannya tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Gus Dur dulu. Jadi, dengan memahami buku ini, akan dapat menilai benarkah Menteri Agama RI, Maftuh Basyumi salah dalam mengeluarkan pendapatnya? Dan apakah benar Dawam Raharjo benar-benar telah menjadi manusia pluralis atau hanya mengaku-ngaku manusia pluralis saja?Adian Husaini, MA sebagai penulis tak ragu-ragu mengeluarkan data-data dan analisanya yang kritis terhadap kelompok Jaringan Islam Liberal. Sebelum menjelaskan "borok-borok" yang terdapat dalam Jaringan Islam Liberal, kata sambutan pada buku ini ditulis oleh Anis Malik Thoha, PhD, Dosen Perbandingan Agama di Universitas Islam International Malaysia.
Dalam kata sambutannya, Anis Malik Thoha membeberkan sejarah munculnya wacana pluralisme agama yang ada pada awal abad ke-20 yang dilakonkan oleh seorang teolog Kristen Jerman bernama Ermst Troeltsch. Juga, dalam kata sambutan itu dijelaskan dua kelemahan mendasar yang terdapat dalam paham pluralisme agama, yaitu pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri yang tidak toleran karena menafikan "kebenaran ekslusif" sebuah agama. Kedua, Adanya "pemaksaan" nilai-nilai dan budaya Barat (westernisasi), terhadap negara-negara belahan di dunia bagian Timur, dengan berbagai bentuk dan cara.Dalam buku ini, penulis tak hanya membahas pro-kontra fatwa MUI saja. Juga membahas tentang Pluralisme Agama dan Dampaknya, Menjawab Propaganda Pluralisme, Ekslusivitas Islam dan The Da Vinci Code Problema Teologi Kristen, dan Pluralisme Agama.
Dalam Sub bab Koalisi Liberal-Ahmadiyah Vs MUI, Adian Husaini mencoba menampilkan visualisasi keprihatinan Aliansi Masayarkat Madani atas larangan dan tudingan sesat terhadap Ahmadiyah. Dawam Raharjo juga menjadi salah satu anggota aliansi tersebut, dan komentarnya pada waktu itu nyaris tak jauh berbeda dengan apa yang dituduhkannya kepada Maftuh Basyumi saat ini. Dawam Raharjo menilai bahwa MUI justru menjadi sumber konfilk agama dan tidak menghargai hak asasi manusia. Penilaiannya itu selaras dalam somasi kedua dan ketiga yang diajukannya kepada Menteri Agama RI, Maftuh Basyumi.Selanjutnya, Adian Husaini menyuguhkan kepada pembaca tentang pluralisme agama dan dampaknya. Dalam bab ini, Adian Husaini "membeberkan" kepada pembaca bahwa ide persamaan agama yang digaungkan oleh kaum pluralis di Indonesia saat ini, sebenarnya benih-benihnya sudah ditabur sejak zaman penjajahan Belanda dengan merebaknya ajaran kelompok Theosofi. Bahkan, pada tahun 1970-1980-an sempat muncul gagasan pendidikan panca Agama di sekolah-sekolah. Tetapi tokoh-tokoh umat ketika itu beraksi keras dengan melakukan berbagai macam protes, sehingga program itu digagalkan. Di antara salah satu tokoh umat Islam yang tampil membantah keras ide persamaan agama itu adalah Dr. Rasjidi dalam bukunya "Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi". (hal. 33-34).
Pada bab selanjutnya, Adian Husaini memberikan jawaban terhadap Ide pluralisme agama dengan mengajak pembaca berfikir, apakah bisa tauhid bersandingan dengan syirik? Sebagaimana dipahami bahwa pluralisme agama adalah suatu paham yang melegitimasi dan mendukung kekufuran dan kemusyrikan, sedangkan Islam adalah agama yang benar-benar memurnikan Allah dari perbuatan syirik atau agama yang benar-benar mentauhidkan Allah, " Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari itu, bagi siapa yang dikehendakinya. Barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh ia telah melakukan dosa yang sangat besar." (QS. An-Nisa: 48). Dengan ayat ini, sudah jelas bahwa Allah sangat murka dengan kemusyrikan, sedangkan pluralisme agama melegitimasi segala jenis kemungkaran dan kemusyrikan. Pluralisme agama jelas membongkar Islam dari konsep dasarnya.
Tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka dan sebagainya. Karena itu mustahil paham pluralisme dapat hidup berdampingan secara damai dengan tauhid Islam. (hal.83-84)Selain itu, Adian Husaini juga membongkar "borok" yang terdapat dalam aliran Ahmadiyah. Dalam konsepsi Ahmdiyah, tulis Adian, tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan tentang wahyu, misalnya, jelas-jelas telah mengorupsi konsep dasar Islam tentang kenabian. Mirza mengucapkan, "Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaiman sudah dikemukakan dalam Bahrain Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya'kub, aku Yusuf, aku Daud, aku Musa, aku Isa, aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad Saw., yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi." Ajaran seperti ini jelas telah menggerogoti ajaran agama Islam yang asli dan setandar.
Oknum-oknum internal seakan-akan mengajarkan Islam, padahal mengajarkan ajaran palsu yang jelas-jelas diluar standar Islam itu sendiri. (hal. 93)Buku ini penting bukan hanya bagi mereka yang menggeluti pemikiran Islam dan para dai muslim Indonesia, tetapi juga penting bagi masyarakat awam yang ingin mengetauhi letak-letak kesalahan paham pluralisme. Minimal bisa membantu khazanah keislaman kita agar tidak terjebak dalam konsep pluralis. (Hidayatullah)[Penulis adalah mahasiswa universitas al-Azhar Kairo, Mesir, Fakultas Syariah Islamiyah, Tingkat III dan menjabat sebagai Koordinator kajian As-Safiir HMM-Kairo, Mesir]
SUKARNO FILE
Resensi buku oleh Erros Jarot
Soekarno dan Pembunuhan Jenderal TNI
Sebuah buku berjudul “SUKARNO FILE, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967: Kronologi Suatu Keruntuhan” karya Antonie C.A. Dake, mengungkapkan, bahwa Soekarno adalah perancang peristiwa pembunuhan berencana terhadap sejumlah perwira tinggi TNI-AD di tahun 1965 yang kemudian dikenal dengan sebutan peristiwa G30S/PKI. Soekarno memberikan lampu hijau kepada sejumlah perwira yang loyal kepadanya untuk “menyelesaikan masalah” berkenaan dengan adanya sejumlah jenderal yang tidak loyal kepada BK dan anti-komunisme.Pada buku ini juga dimuat lampiran berkas BAP (berita Acara Pemeriksaan) Kolonel KKO Bambang Setijono Widjanarko (BSW) yang ketika itu menjabat sebagai Asisten Kepala Persmil AL.
Pada BAP tanggal 22 Oktober 1970, BSW mengatakan, Perwira-perwira Tinggi AD yang dibunuh pada peristiwa G30S/PKI adalah Perwira-perwira Tinggi AD yang dianggap tidak loyal oleh Bung Karno, dan mereka juga termasuk Pati yang tidak disukai oleh PKI.Menurut kesaksian BSW, “Tentang hubungan antara PKI dan Bung KARNO sehingga terdjadinja pembunuhan terhadap Pati2 tersebut, jang djelas kedua fihak (PKI + BK) mempunyai satu kepentingan. Bung KARNO menghendaki disingkirkannja para Pati yang dianggap tidak loyal dan PKI menghendaki hilangnja para Pati tersebut jang anti komunis.”Selanjutnya, BSW menuturkan, “Dalam penjingkiran/pembunuhan para Pati tersebut terdapat djuga adanja hubungan, jakni Bung KARNO mempertjajai bekas Letkol UNTUNG dan bekas Brigdjen SUPARDJO, dimana orang-orang ini djelas merupakan orang PKI.”“... Beberapa kali saja mendengar/mengetahui bahwa Djenderal YANI dan Djenderal NASUTION memberi nasehat pada Bung KARNO supaja Bung KARNO djangan terlalu memberi angin pada PKI; agar Bung KARNO ingat pada peristiwa pengchianatan PKI di Madiun (1948).”Menjelang terjadinya pembunuhan jenderal, BK sudah mendapat laporan tertulis dari Letnan Kolonel Untung. “… Pada tanggal 30 September 1965 + djam 22.00 di Istora Senajan memang benar Bung KARNO menerima surat dari bekas Letkol UNTUNG...”“... Jang saja ingat, setelah membatja surat tersebut Bung KARNO kelihatan “tevreden” dan meng-angguk2kan kepala, tanpa berkata apa2. Surat dimasukkan kembali kedalam saku djasnja. Setelah itu Bung KARNO kembali lagi ketempat duduk/tempat upatjara…”“… Pada giliran Bung KARNO menjampaikan pidato sambutannja, kelihatan benar betapa semangat dan gembiranja. Isi dan tjara pidato sangat ber-api2, membakar semangat...”“... Dengan pengetahuan adanja Djenderal2 AD jang tidak disenangi Bung KARNO, adanja perintah kepada Djenderal SABUR supaja menindak Djenderal2 tersebut, adanja pemanggilan terhadap bekas Letkol UNTUNG oleh Bung Karno pada tgl 4 Agustus 1965, adanya reaksi Bung KARNO jang kelihatan tevreden setelah menerima surat dari bekas Letkol UNTUNG itu, sekarang saja dapat memperkirakan bahwa isi surat tersebut adalah suatu pemberitahuan dari UNTUNG pada Bung KARNO tentang akan dimulainja gerakan menindak para Djenderal.” Pasca pembunuhan jenderal, BK yang saat itu berada di Halim mendapat laporan dari SABUR. “Pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi sewaktu bekas Brigdjen SUPARDJO tiba di Halim dan melaporkan pada Bung KARNO (+ djam ...), saja belum berada di situ. Saja tiba di Halim pada + djam 11.30. Setelah saja tiba di Halim dan bertemu dengan rombongan Bung KARNO barulah saja mendengar tjeritera/keterangan tentang pertemuan Bung KARNO dan bekas Brigdjen SUPARDJO itu. Jang memberi keterangan pada saja ini adalah Kolonel SAELAN, AKBP MANGIL dan SUPARTO.”“... Bekas Brigdjen SUPARDJO telah melaporkan kepada Bung KARNO bahwa tugas jang dibebankan kepadanja untuk mengambil tindakan terhadap Djenderal2 AD telah dilaksanakan...” “...Djenderal jang telah berhasil diambil dari rumahnja adalah: 1. Djenderal YANI, 2. Djenderal PARMAN, 3. Djenderal HARJONO, 4. Djenderal SUTOJO, 5. Djenderal SUPRAPTO, 6. Djenderal PANDJAITAN, sedangkan Djenderal NASUTION jang djuga didjadikan sasaran telah lolos...”“... Bung KARNO menganggap dan memperlakukan bekas Brigdjen SUPARDJO sebagai Komandan jang memimpin tindakan gerakan pembersihan dan rupanja telah mengetahui sebelumnja bahwa bekas Brigdjen SUPARDJO itulah pelaksana utamanja...”“... Sewaktu dan setelah menerima laporan dari bekas Brigdjen SUPARDJO, Bung KARNO kelihatan tevreden, sambil menepuk-nepuk nahu SUPARDJO ia berkata: “Je hebt goed gedaan. Kenapa NASUTION kok lolos...”Kesaksian BSW sebagaimana tertuang di dalam BAP di atas, selama pemerintahan Soeharto tidak pernah bisa dipublikasikan. Kekuatan Soeharto telah berhasil menutup fakta sejarah tentang keterlibatan BK di dalam peristiwa berdarah yang menewaskan enam jenderal dan Letnan Satu Pierre Tendean (ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal NASUTION), serta Ade Irma Suryani (anak NASUTION).Jika saja, Soeharto membiarkan fakta dan data keterlibatan BK di dalam perencanaan eksekusi jenderal TNI-AD itu bergulir apa adanya pada saat ia memegang kekuasaan, niscaya BK dan keluarganya akan dicincang-cincang oleh rakyat. Dan boleh jadi, Megawati tidak akan pernah menjadi presiden. Jangankan jadi presiden, bisa jadi anggota partai saja mungkin merupakan suatu hal yang musykil.Kebijakan Soeharto ‘melindungi’ BK sebagai dalang utama pembunuhan para jenderal, menyebabkan BK menjadi pujaan banyak orang, karena ia diposisikan sebagai tokoh yang ditelantarkan Soeharto.Akibat ‘kebaikan’ Soeharto, maka nama BK tetap harum sebagai proklamator, bahkan anak-cucunya turut memperoleh anugerah ini, padahal sesungguhnya BK adalah bajingan di balik pembunuhan jenderal. BK juga bajingan yang menyebabkan paham komunisme tumbuh subur di Indonesia. BK juga telah menyebabkan sejumlah ulama (NU) menjadi ahli neraka karena telah menerima konsep Nasakom dan memberikan gelar Waliyyul Amri Ad-Dharury Bisy-Syaukah kepada BK, yang maknanya menjadikan BK sebagai pemimpin ummat Islam, padahal BK tidak pernah shalat.
MEMBONGKAR JAMAAH ISLAMIAH
Menurut Nasir Abas, pada 1993 terdapat dua Mantiqi di lingkungan JI. Pertama Mantiqi Ula (I) dipimpin Hambali, meliputi Malaysia (termasuk Sabah) dan Singapura. Kedua, Mantiqi Tsani (II), dipimpin Abu Fateh, meliputi Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi).Tahun 1997, terjadi perubahan lagi. Mantiqi Ula (I) dipimpin Hambali, meliputi Malaysia Barat (Semenanjung) dan Singapura. Mantiqi Tsani, dipimpin Abu Fateh, meliputi Indonesia (Jawa, Sumatera, Bali, NTB dan NTT). Mantiqi Tsalis (III) dipimpin Mustapha, meliputi Sabah (Malaysia), Kalimantan Timur (Indonesia), Palu Sulawesi Tengah (Indonesia), Mindanao Filipina Selatan (termasuk Kamp Latihan Hudaybiyah).Pada April 2001 terjadi perubahan kepemimpinan. Hambili digantikan Mukhlas (Mantiqi Ula). Abu Fateh digantikan Nuaim (Mantiqi Tsani), Mustapha digantikan Nasir Abas (Mantiqi Tsalis). Sedangkan Mantiqi Ukhro tetap dipimpin Abdurrahim. (hal. 120).
Pada buku ini Nasir Abas juga mengulas kebohongan Imam Samudra (hal. 183) yang pernah membukukan pengalamannya melalui buku berjudul Aku Melawan Teroris. Misalnya soal Khowst yang oleh Imam Samudera disebut sebagai nama tempat yang didatanginya, padahal menurut Nasir Abas, Khowst adalah nama ssebuah kota yang pada tahun 1990 masih dikuasai pemerintah komunis Afghanistan.Nasir Abas juga menilai, Imam Samudera yang terlibat kasus Bom Bali pertama, adalah perbuatan yang keliru. “Meski niatnya benar untuk mati syahid, namun karena cara pelaksanaannya salah, maka tetap salah…” (hal. 263).Berkenaan dengan keluarnya Nasir Abas dari JI, dijelaskan, “Keluarnya saya dari Al-Jamaah Al-Islamiyah bertujuan ingin menyelamatkan umat Islam, sebatas kemampuan saya, agar tidak terpengaruh dengan faham yang keliru, dan agar umat Islam khususnya dan umat manusia umumnya tidak menjadi sasaran pemboman dan penyerangan yang dilakukan tanpa alasan syar’i dan manusiawi.” (hal. 312).Pada halaman 315, Nasir Abas mengatakan, “Perjuangan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah yang keliuru dalam pemahaman Jihad itu bukan lagi untuk menghilangkan ‘fitnah’, tetapi perjuangan mereka adalah mendatangkan ‘fitnah’, dan perjuangan mereka menimbulkan ‘fitnah’ kepada umat Islam…”“Saya menghimbau dan menyerukan kepada semua teman-teman dan semua orang-orang yang masih mempunyai niat untuk melakukan aksi pemboman dengan sasaran apapun dan siapapun, agar dihentikan dan segera bertaubat kepada Allah SWT.” (hal. 317).
Sebagai media yang ditujukan untuk membendung aksi terorisme khususnya yang dikaitkan dengan JI, buku ini seharusnya cukup efektif. Oleh karena itu buku sejenis ini seharusnya mudah ditemui di berbagai toko buku, sehingga semakin banyak angota masyarakat yang membacanya. Apalagi bila buku ini diteritkan pula dalam bentuk e-book, sehingga bisa diakses oleh siapa saja di seluruh pelosok dunia.